Sabtu, 04 Februari 2012

ORANG KEPERCAYAAN
Oleh : Wima Ariya Menggala

    Bapak saya sangat bercita-cita melihat anaknya menjadi seorang guru.  Kepala sekolah, itu mungkin  kata yang lebih tepat seperti nya, karena melihat posisi bapak saya yang empat kali kepengurusan sebagai kepala sekolah dan tak sempat lengser.
“ maaf, saya mendengar perbincangan bapak dan ibu, bapak ingin menguliahkan saya di universitas pendidikan? Betul?” celetuk ungkapan kosong saat satai di depan TV.
“betul” bapak saya mengangguk.
“ kenapa harus universitas pendidikan? Bapak ingin jadikan saya guru?” sahut saya.
“iya” …
    Bapak saya tampak tenang, tanpa bersalah, dan berpindah ke kursi tamu depan ruangan membaca majalah pendidikan. Itu malapetaka bagi saya. Saya masih belum percaya apa yang saya dengar barusan. Sampai saya kuliah di universitas pendidikan berarti itu akan memotong cita-cita saya menjadi seorang pemilik pabrik. Dalam sebuah teori matematika guru ditambah kehidupan sama dengan pengabdian, pengabdian tak jauh dari kata keterikatan, keterikatan sama dengan terkekang, dan terkekang tak jauh dari sebuah penderitaan. Saya tidak akan jauh mengerti arti kehidupan yang sebenarnya.
    Mata saya melirik ibu saya. Dia membalas dengan tatapan lembut, sebuah keputus asa an. saya pun menghadap ke mata itu.
“itu sudah keputusan, Taksu anak ku” jawab ibu yang seolah mengerti pertanyaan dalam mataku.
“itu, tidak demokratis ibu, itu sepihak, bu, e’ … ” ibu memotong sanggahan ku dengan memalingkan sosok keibuan dan pergi kedapur.
     Saya dibiarkan diruang tengah didepan TV yang tidak tahu apa maksudnya. Saya duduk bermaksud menenangkan diri. Dan itu membuatku berperang dengan pikiran ku sendiri. Saya tidak mungkin menjadi guru. Itu bukan sebuah kehidupan yang saya harapkan. Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar.
Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Paling banter mereka naik Sedan bobrok, mentok Xenia, Avansa, itupun secont atau itu hasil korupsi dana-dana pembangunan sekolah. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani atau ternak seperti bapak.
Profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita kan harus tinggi. Dan saya, Taksu Wibawa pantas mendapat sebuah kedudukan yang lebih berkelas. Memiliki pabrik ratusan. Penghasilan milyaran. Masak jadi guru? Itu cita-cita orang kecil, itu namanya menghina diri sendiri dan ujung-ujungnya menghina orang tua juga. Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Orang pada enak-enak an  tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Dari pada jadi guru sekaliaan saja bilang sama Tuhan kalau saya daftar ke neraka.
*
Minggu pagi seperti biasa terjadi, ayam berkokok, fajar menyinari kolam ikan di depan kamarku. kambing dibelakang rumah berteriak-teriak protes kepada pemiliknya, mereka seakan mengerti perasaan anak dari pemiliknya, begitu terharu saya mendengarkan.
Benar, saya harus protes atas ketidakadilan ini. Saya pergi kebelakang untuk menemui pemilik kambing itu__bapak saya__ . Saya menengok ke samping kanan samping kiri tak melihat ibu atau bapak. Ibu pasti kepasar yang tak jauh dari rumah untuk membeli keperluan untuk di masak. Saya beranjak menuju kedepan rumah untuk mencari dimana bapak saya, disana hanya ada Taski bermain sendiri, adik satu satunya yang masih duduk di Sekolah Dasar. Saya mengamati dia membuat rumah-rumahan dari kaleng bekas. Memang adik saya ini gemar sekali menciptakan sesuatu dari barang-barang bekas.
Tak lama bapak dari jauh terlihat, dia mengandarai motor sambil membawa setumpuk pakan kambing. Bapak saya terlihat sangat kotor sekali dan lelah, sepertinya dia dari subuh berangkat mencari pakan kambing di kebun.
Ini lah yang saya maksud dengan rumus matematika, ini lah yang dimaksud menjadi seorang guru, ini lah yang di harapkan bapak saya. Lihat masa depan guru, dan jika saya tetap menjadi guru itu dinamakan penghinaan.
Saya menyambut bapak saya yang seperti nya sangat capek. Jika kalau saya protes sekarang, tidak akan menghasilkan apa-apa. Benar, sedikit iming-iming pasti membuat bapak saya memenuhi kemauan saya.
“wah, bapak kok tidak mengajak saya tadi, kan saya libur, bisa bantu-bantu!”
sambut saya dengan melepaskan tali pengikar pakan kambing lalu berusaha mengangkat walau sangat berat, tapi saya usahakan tetap mengangkat.
“oh iya, bapak bisa langsung mandi saja, biar saya saja yang memberi makan dan minum, sekalian nanti saya bersihkan kandangnya” saya sedikit merayu.
“kalau begitu, sekalian nanti sampahnya dibakar! kambing betina yang dipojok utara mau melahirkan, nanti kamu keluarkan, kamu bersihkan bulunya juga.” Tambahan pekerjaan dari bapak.
“ … : sambut ku tanpa kata dan sedikit tercengang.
“ oya, nanti kamu bantu juga tukang yang mau benai kandang, bapak ada rapat kepala sekolah di kota” sabut bapak saya.
    Malam harinya, alih lagat membawakan kopi, saya memutuskan untuk menanyakan lagi keputusan bapak saya untuk menguliahkan saya universitas keguruan.
“ bapak kan sudah bilang, kalau keputusannya kamu harus kuliah di unversitas keguruan” kata bapak dengan tegas.
“ tapi kan saya juga bilang, saya tidak mau, pak!” sambut saya
“ keputusan adalah keputusan, Taksu” sambut suara ibu dari ruang yang lain yan hanya terpisahkan oleh pintu.
Sekarang malah ibu semakin mendukung bapak, saya terpojok dan bingung harus mengumpat seperti apa lagi. Saya tahu ibu tak pernah melawan apa perkataan bapak  saya. Kepusan bapak saya adalah keputusan mutlak dikeluarga ini.
“ini Negara demokrasi kan? Semua orang bebas memilih dan menetukan apa yang dipilih!” sambut saya sambil berjalan menuju ketengah pintu untuk berusaha terlihat ibu dan bapak.
“masa depan guru yang terbaik, Taksu. Itu yang sudah dijanjikan pemerintah” ungkap bapak saya tanpa memperhatikan saya.
“ terbaik bapak bilang, pemerintah sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti saya, yang akan terus di paksa. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti saya adalah orang tua. Bapak tertipu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang menjadi lemah hati,” saya pun sambut kaliamat penuh emosi.
“sudahlah kamu percaya saja, bapak tau masa depan guru akan semakin baik” sambut ibu
“apa, bapak bukan jenis orang yang suka dipuji kan? bapak sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Pak. Jangan bapak takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin saya bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi kan, pak?. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa saya menghabiskan hidup untuk sesuatu yang tidak berguna?” sambut pajang saya.
“sudah” bapak menatap saya dengan kejam. “ bapak sudah menyuruh, kepala BK disekolah kamu, untuk mendaftarkan ke universitas keguruan. Pendidikan Sastra Indonesia. Itu jurusan kamu.”
“eee…” saya ingin protes lagi tapi bapak meninggalkan ruang tamu menuju ke kamar
“Ibu, harus membantu saya, buk, ibuk,…” ibu juga meningalkan saya dengan kesibukan dapur. 
Malam enggan meninggalkan saya, malam terasa sebagai halusinasi keputusasaan. Kegelapan menggambarkan hidup tidak sesuai bayangan.
**
    Pagi enggan membuat berdiri. Ikan-ikan sembunyi dari cahaya matahari. Suara kambing terdengar sumbing. Mungkin mereka juga putus asa.
“Taksu, kamu tidak sekolah?” ibu menyahut sambil menotok pintu kamar.
“lagi males , buk?” sambut saya
Saya orang yang tak mudah putus asa, walau sepertinya saya putus asa, tapi sebenarnya ini salah satu cara saya. Siapa tau mereka akan sadar melihat anaknya depresi kemudian mereka akan memenuhi keinginan saya. Negatif  bertemu negatif pasti menghasilkan positif, itu rumusnya. Mudah-mudahan penderitaan saya ini akan membimbing mereka ke jalan yang benar.
Kemudia siang, kemudian sore, mendekati malam. Terus saya tunggu, saya sebenarnya menunggu mereka membatalkan keputusanya. Tapi sepertinya saya harus protes lagi, karena memang orang tua sulit memperhatikan anaknya, orang tua yang selalu minta diperhatikan oleh anaknya.
“apa bapak masih berniat menjadikan saya guru” sambut saya ketika bapak mengerjakan tugas dari sekolah.
“ keputusan adalah keputusan, Taksu” sambut ibu yang membawakan kopi untuk bapak dari belakang.
“tapi saya tetap tidak mau” potong saya.
“Taksu,” senggal bapak saya dengan nada marah. Saya menjadi sangat gugup, karena bapak saya jarang semarah ini. “nama kamu, Taksu Wibawa, kamu anak seorang guru Ariya Wibawa, kamu malu menjadi seorang guru? Berarti kamu malu menjadi keluarga Wibawa. sekarang itu kamu malas. Kamu jarang masuk sekolah, kamu hanya mau main-main, tidur-tiduran, pacaran. kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek atau sepedah ontel, kamu bilang umar bakri, umar bakri. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup mu nanti. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini.” tambah bapak saya.
“nah, bapak tahu, bapak ingin melihat masa depan anak mu seperti itu? Sepatu butut, sepedah ontel, dan muka layu kurang gizi?” ungkap saya gugup.
“iya,, karena bapak tahu kamu orang hebat, jika merasakan seperti itu, merasakan kesengsaraan, Taksu Wibawa pasti orang pertama yang akan meneriakkan, memperjuangkan martabat dan kesejahteraan guru. Kamu berbeda, walau kamu nakal tapi kamu selalu berprestasi. Lihat lemari kebanggaan bapak ini, penuh dengan piala-piala pertasimu.” Sambut bapak saya.
    Saya pun mulai terbuka dengan alasan yang di ungkapkan bapak saya. Dan tidak sanggup lagi menyahut sepatah katapun.
“sekarang semua keputusan ada padamu. Kamu masih bisa membatalkan ke pikak sekolah. Kamu bisa memilih universitas yang cocok sesuai kemauan mu. Bapak dari awal selalu percaya dengan mu, karena nama mu Taksu Wibawa, Taksu Wibawa, Taksu Wibawa. Yang akan membuat terhormat keluarga dan negara”
Malam terus berganti, terhitung waktu, hingga kini
***
    Pagi membuka mata ku pada sebuah kecerahan, kecerahan ini seakan melukis bayangan yang padam. Tiga tahun yang lalu saya masih orang yang layu dan kini lebih segar. Karena saya adalah seorang calon guru. Dan jika sekarang saya ditanya apa cita-cita mu. Dengan bangga Taksu Wibawa menjawab,
“Seorang guru yang memiliki seratus pabrik dan penghasilan milyaran, sehingga menjadi inspirasi bagi murid-muridnya.”
****
Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yang akan datang.
(Putu Wijaya : Guru)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar