Sabtu, 04 Februari 2012

cerpen

Mr. M
Oleh : Wima Ariya Menggala

    Sudah lama sekali saya mengasingkan diri ke kota besar yang memiliki gedung-gedung besar, dan munkin sayalah salah satu dari sekian juta manusia yang merantau disana. Dan lebaran tahun ini saya kembali ke sebuah tempat,  tempat menanam batur  lahir,  bukan desa, bahkan bisa dibilang separo desa karena tempat ini jauh dari kantor desa. Memang setiap tahunnya saya ada disini dengan dalih mengujungi warisan keluarga. Saya merasa  asing karena setiap gelagat manusia disana memandang dengan penuh kecurigaan. Memang saya merasa ada yang aneh pada diri saya. Saya terlihat berbeda. Kebetulan tempat tinggal saya kali ini berbeda dari tahun sebelumnya, rumah singgah waktu kecilpun sudah dijual untuk menutupi utang-utang keluarga sejak kematian kedua orang tua. Tidak buruk karena sebuah kewajaran , akhir hayat pasti semua kembali kepada Sang Kuasa.
Malam itu malam takbir, mata saya terkatup katup karena lelah perjalanan, tubuh terasa berat lengan pinggang terasa mau patah. Suara bising teropong masjid yang terlihat dari ruas-ruas lubang jendela kamar diselimuti awan hitam membuat sedikit keraguan untuk pergi ke sana. Saya tidak merasa terganggu dengan hal itu.  Kadangkala, saya hanya berfikir alangkah lebih baiknya suara masjid itu dijauhkan dari telinga saya.  Kamar berukuran 3x3 yang saya sewa mahal dari seorang keluarga tukang ojek yang saya temui di pingir jalan yang jauh dari tempat ini, seharusnya ada hak khusus untuk menghindarkan saya dari keramaian di malam ini.
Kegelisahan malam itu berlanjut semakin gelap, seperti gelapnya hati saat ini, dan saya berniat membersihkan diri. Cukup jauh kamar mandi dari rumah ini dan kemudian disebut pemandian umum. saya berniat meminta bantuan ibu, istri tukang ojek itu. Cekikian terdengar beberapa saat setelah saya membuka pintu kamar, tak kuasa saya pun mengintip dari balik tembok pohon bambu itu. Anak kecil menari-nari kegirangan mencoba gaun berwarna merah muda. Saya pun urung menggangu kesedihan keluarga tukang ojek, meskipun saya tau dia sudah menarif kamarnya begitu mahal.
Tak lama berselang, setelah pemandangan menyedihkan itu saya mengingat-ingat  jalan kamar mandi umum yang jauh dan begitu gelap yang ditunjukan istri tukang ojek sewaktu saya datang. Obor disamping kiri pintu belakang, saya bawa untuk sedikit pencerahan, maklum diawal sebenarnya saya ingin protes kenapa begitu kekurangan penerangan di daerah ini, tapi tak sempat saya tanya, istri tukang ojek itu sudah menjawab dengan unek unek pengakuan kesalahan jika mereka kesulitan dana membangun kamar mandi dalam rumah.  Entah apa yang dia pikirkan saat itu, memang wajahnya begitu menyedihkan.  Saya pikir mereka menggunakan topeng dalam topeng, masih sempat cekikian dikeadaan yang jauh dari kesempurnaan. Tidak lama pun saya sampai di pemandian umum. Satu kamar mandi untuk pria ukuran besar dan dibaliknya dua pintu untuk wanita. Kelihatannya sepi, tapi pintu kamar mandi itu tertutup dan di tempat obor yang sore tadi kosong sekarang jadi berisi, kesimpulan saya kamar mandi ini lagi digunakan.
Lima menit saya menunggu, tapi tidak ada tanda tanda ada manusia, minimal suara gayuh atau apa pun itu, yang terdengar hanya suara gremicik air  yang dari awal saya datang memang sudah seperti itu. Dan itu membuat saya memutuskan mengetuk pintu kamar mandi.  Satu sampai tiga kali ketukan ”tok, tok,tok”  saya pikir cukup, tanpa suara dan saya kembali menunggu. Tidak lama berselang, saya pun kehilangan kesabaran, saya ketuk lagi satu sampai tiga kali dan kali ini saya menggunakan suara. “ … ,hoi ” saya pikir hanya orang bisu yang tidak menyahut suara saya, walau dia bisu dia pasti akan memberi tanda tanda akan kebisuannya. Tapi ternyata tidak berasil juga, malah semakin sepi,. Gremicik air mati, apa ini dia yang memberi tanda ataukah saluran dari atas mati, karena saya sedikit banyak tahu kalau orang sekitar sini menggunakan sumber air sebagai pemandian umum. Tidak kuasa menahan kesabaran, dari tadi saya hanya menggunakan logika untuk berfikir dan tidak semua segala sesuatu bisa menggunakan logika, dan hal itu tepat untuk hal ini. Tidak saya pikir panjang lagi, saya ketuk pintu sekeras-kerasnya sambil sedikit mendorongnya, siapa tau tidak di kunci. Dan hasilnya sekali lagi nihil, tidak ada tanda tanda sama sekali.
Heran, penasaran, marah, putus asa, dan selain itu saya pun sukar untuk menjelaskannya, alasan itu saya memutuskan untuk kembali saja. Pikir saya apakah pintu kamar mandi ini rusak,dan juga ketika saya ditunjukan pertama kali kamar mandi umum ini, saya tidak mencoba membukanya. Satu lagi keinginan protes saya ke keluarga tukang ojek. Tidak di kota tidak di desa semuanya sama, memang benar ini proses pemerataan pembangunan Negara tapi apakah tidak sebaiknya kita semua tidak membangun Negara ini dari sebuah kekecewaan.
*
“ lo, mas. Tak kira sampean tadi sudah tidur, kok tidak ada suaranya” sahut istri tukang ojek. Sebenarnya enggan untuk menjawabnya, karena keinginan saya protes pun gagal, melihat dia mengendong anaknya yang ngempeng  dott susu yang berisi air gula.
“kamar mandi umum itu, pintunya rusak ya, buk?”
“ wah biasanya tidak low, mas, apa lagi besok lebaran, kalau rusak sudah diperbaiki sama warga. mungkin masih ada orangnya, atau kalau kamar mandi perempuan kosong pakai aja, mas ” jawabnya tanpa rasa bersalah.
Memang menurut saya masuk akal, bagaimana kalau kamar mandi tidak beres mereka akan kebingungan menuju arak-arak an besok. Karena mungkin sekitar 10 sampai 15 an kepala keluarga  mengunakan pemandian umum itu kalau pun tidak cukup waktu mereka memilih berjalan sekitar satu kilo ke sungai.
Tidak masalah kalau begitu, saya pun berangkat lagi ke pemandian umum itu, jika nanti masih tertutup pintu kamar mandi pria, saya bisa menggunakan kamar mandi wanita dan pastinya kamar mandi wanita lebih bersih. Dan jikalau nanti ada orang nya juga, saya putuskan untuk tidak mandi atau saya akan protes ke keluarga tukang ojok untuk meminta potongan biaya penginapan, itu sepertinya lebih adil.
Sebegitu sulitnya untuk membersihkan diri, sampai-sampai untuk mandi saja harus menguras pikiran seperti ini. Sambil berjalan saya berfikir, apakah orang yang berteriak teriak di masjid itu sudah benar-benar bersih. Ataukah dengan mereka cukup menghadapi bulan yang setiap tahun datang dan setelah itu arak-arak an sambil bermaaf-maafan menghapus semua dosa mereka. Kalau pun itu benar berarti tidak ada keadilan di dunia ini, bahkan Tuhan pun belum bisa bersikap adil. Hanya membasuh keringat saja sudah sebegitu membingungkan seperti ini.
Dari kejahuan masih terlihat obor di depan samping pintu kamar mandi itu, kalau pun ada orang nya saya yakin dia sudah pergi karena cukup jauh rumah keluarga tukang ojek dari pemandian umum. Sesampai di dekat pintu, kembali pintu yang tertutup itu saya dorong dan masih sulit terbuka, seperti terkunci dari dalam. Saya putuskan untuk menggunakan kamar mandi wanita, tepat seperti bayangan saya kamar wanita lebih bersih meskipun saya belum melihat kamar mandi pria.
Karena gelap sekali saya bawa obor itu masuk  ke dalam, alih glagat, memang sengaja untuk mengasapi kamar mandi pria yang memang satu atap dengan kamar mandi wanita. Setelah menaruh obor, handuk dan kotak sabun, saya-pun melucuti persenjataan pelindung tubuh mulai dari hem,  dilanjutkan ikat pinggang dan  dan terakir celana dalam. Sedikit pembugaran tubuh, “ jebur, jebur, jebur, jebur,jebur,,, hahhh”
“ glodak, gelodak, klethook, tok, klotok…”
Sepertinya ada suara di kamar mandi pria, saya pun diam sejenak mendengarkan suara itu lagi. “ …” . Nihil, tidak lagi terdengar suara, apa mungkin sebuah halusinasi. “Hah” saya merasa hidup penuh kesengsaraan, dan saya melanjutkan menggambil dave, mengusap rambut sambil memijat-mijat kepala.
“ hrekk, kqqeeek,  juhh..”
 Sepertinya ada suara, dan saya kali ini mendengar dengan pasti, saya yakin jika di kamar mandi pria ada manusia. Sialan saya di kerjain sama orang ini, saya merasa tersinggung, menyaut handuk dan keluar dari kamar mandi wanita menuju depan pintu kamar mandi pria. Hanya memakai handuk kecil dengan rambut masih berbusa, saya sekali lagi mendengarkan suara yang ada di dalamnya tapi tetap tidak terdengar apa apa lagi. “dok, dok dok…  heh jangan main-main” sambut saya. Tetap saya tidak mendengar apa-apa bahkan tambah sepi. Saya pun sedikit menjauh dari pintu. Jongkok. Mengambil batu dan melempar kedalam kamar mandi pria lewat lubang angin. “klotok, klotok, kelotok”. Sekalian biar mampus kena batu. Tetap tidak ada suara kaget atau teriak kena batu. Atau mungkin tidak kena, saya pun mengambil pasir dan kembali melempar ke dalam kamar mandi itu, dengan harapan pasir itu masuk kematanya kemudian dia berteriak. “ kretek, kretek, kretek, rasakan” sambut saya. Tetap sepi tiada arti sebagai tanda kehidupan yang ada di dalamnya.
Heran, penasaran, marah, putus asa, dan selain itu, seperti diawal, sukar untuk dijelaskan. Saya kembali ke kamar mandi wanita, membilas rambut, tanpa menggunakan sabun, dan menyudahi mandi yang tidak membuat bersih itu. Saya pun segera memakai celana, tanpa dalaman, dan hem dengan kancing paling atas masih terbuka. di sela-sela kaki melangkah di bak dekat sumber air terlihat wing. Melihat benda yang super licin itu teringat dendam yang bertubi-tubi menimpa saya. Saya menggambilnya dan mengoleskan-oleskan secara merata di depan pintu kamar mandi pria tidak lupa saya mematikan obor didekat pintu itu. Gelap ditambah licin sama dengan takdir akan menimpanya.
**
Suara teriakan masjid dan bau asap dapur membuat tidur jadi tidak tenang. Saya memutuskan untuk bangun menyabut subuh dihari lebaran pertama ini dan alasan yang lain saya ingin menghargai Tuhan yang menciptakan dunia.
“ eh, mas nya sudah bangun, kalau mau mandi segera antri mas, soalnya inikan hari lebaran, pasti pemandian umum sudah ramai, dari pada nanti harus mandi ke kali, malah gak bisa ikut sholat idd ” sambut bapak.
Mendengar kata pemandian umum saya teringat dendam pada seseorang yang misterius se malam. Bagimana pun nasibnya, teori tetaplah teori, gelap ditambah licin sama dengan takdir yang akan menegurnya. Saya pun bergegas ke kamar mandi umum itu, memang benar ramai sekali keadaanya. Mendekati kamar mandi saya ditegur oleh istri tukang ojek, saya disuruh hati-hati karena kamar mandinya licin. Kabarnya ada seorang pengurus masjid yang terpeleset sampai kepalanya pecah dan dibawa ke rumah sakit, kebetulan dia akan menjadi imam saat sholat idd sehingga warga bingung mencari gantinya. Diam yang hanya bisa saya lakukan, sedikit takut, tapi setidaknya dendamku sudah terbalas, dan tidak ada yang menggagu di malam-malam selanjutnya.
***
Lebaran tanpa keluarga membuatku iri pada kesengsaraan dibalik tawa keluarga tukang ojek. Seharian waktu, saya habiskan kekebun warisan sampai larut malam, dan sampai lagi kekamar mahal ukuran 3x3 itu. Rasa capek dan gerah membuat saya ingin menyegarkan diri, saya ambil obor sekaligus membawa perlengkapan mandi dan kali ini saya membawa celana dalam ganti menuju pemandian umum. Tidak ada rasa ragu lagi kali ini, karena saya sudah memecahkan kepala orang yang selalu membuat kerusuhan di masjid dan di kamar mandi umum. Tidak lama berselang kamar mandi itu sudah terlihat, dari titik kejahuan terliahat obor yang menancap di tempat obor, sama persis dengan kejadian semalam. Saya pun mendekat ke depan pintu dan melihat apakah itu obor yang sama dengan obor yang ada semalam. Dan ternyata benar, bahkan di sebelah obor itu ada batu, setumpuk pasir, dan wing. Tanpa mengetuk pintu kamar mandi lagi, saya memutuskan untuk urung membersihkan diri, dan kembali untuk beristirahat.
****
Malam adalah malam.Misteri tetaplah misteri. Terlepas pada teori teori. Malam akan senantiasa membawa misteri.  Heran, penasaran, marah, putus asa, dan selain itu pun, saya sangat sukar untuk menjelaskannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar